Pendidikan, saatnya kembali pada esensi !
Pendidikan, saatnya kembali pada esensi ! Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan utama di Indonesia menjadi sentral perhatian karena pada umumnya para pemimpin dan pelaksana masa depan bangsa akan lahir darinya. Melalui perjalanan waktu pula, tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah-sekolah terus bertumbuh dan berkembang untuk memenuhi komitmen dalam upaya penyelenggaran pendidikan yang berkualitas. Pertumbuhan paradigma sekolah-sekolah ini akan pentingnya memandang anak didik sebagai ‘manusia’ yang harus terus bertumbuh lewat belajar, merupakan modal utama pendidikan untuk terus ber-progress. Meski demikian, dibutuhkan banyak dukungan yang bersifat multi aspek agar dapat memenuhi tujuan mulia ini. Para pemangku kepentingan seperti pemerintah dan orang tua harus menjadi satu kesatuan dalam sebuah komunitas pendidikan yang perlu terus berkolaborasi dan berperan sesuai porsinya. Perubahan secara berkesinambungan dan berkelanjutan (continuous improvement) tampaknya tidak hanya dilakukan oleh sekolah, namun juga dilakukan oleh Pemerintah. Selaku pemberi arahan pendidikan secara Nasional, pemerintah telah melakukan cukup banyak refleksi, terutama akibat pandemi C-19 yang melanda hampir seluruh belahan dunia tak terkecuali Indonesia. Pada berbagai media, Kemendikbudristek melalui risetnya bersama INOVASI menyatakan bahwa Indonesia mengalami krisis belajar (learning loss) sejak cukup lama (studi-studi nasional maupun internasional menunjukkan bahwa banyak siswa kita yang tidak mampu memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar). Kemudian krisis belajar ini menjadi semakin parah setelah adanya pandemi. Untuk mengatasi krisis belajar inilah akhirnya pemerintah menganggap perlu untuk melakukan perubahan yang bersifat sistemik, salah satunya melalui perubahan kurikulum dari kurikulum 2013 menjadi kurikulum prototipe, yang kemudian disebut sebagai kurikulum MERDEKA. Cukup menarik bila mencermati latar belakang penggantian kurikulum dan penamaan kurikulum Merdeka ini. Saya teringat akan sejarah tentang ‘sekolah’ itu sendiri, dimana sekolah merupakan institusi yang berumur kurang dari 200 tahun, dan di Indonesia umurnya bahkan kurang dari 150 tahun. Indonesia yang sebelumnya disebut Hindia-Belanda lebih dulu mengenal pesantren, sebagai sebuah Lembaga pendidikan dengan karakteristik yang berbeda dengan ‘sekolah’ yang memang diperkenalkan oleh Belanda. Pemerintahan Belanda justru membangun sekolah untuk kepentingan penjajahan. Bagi Belanda sebagai penjajah saat itu, membuka sekolah berarti menyiapkan pegawai bagi pemerintahan Hindia Belanda. Karena itu, penting bagi Pemerintah untuk senantiasa memperhatikan apakah grand design persekolahan kita sudah banyak berubah sejak Belanda membukanya di Hindia Belanda? Apakah persekolahan kita masih berorientasi pada penyiapan pegawai semata dengan sistem pendidikan yang memenjarakan peserta didiknya? Saya melihat penamaan kurikulum Merdeka ini dapat dipandang sebagai upaya pemerintah untuk mengingatkan para pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan, agar berlepas diri dari paradigma penjajahan dan keterjajahan dalam proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sebab diakui atau tidak, praktek pendidikan yang terjadi di persekolahan pada semua jenjang sampai dengan hari ini, masih terjadi ‘focus yang jauh lebih besar’ pada aspek pengajaran untuk mencerdaskan intelektual dalam mengasah potensi kognitif, dibandingkan untuk aspek-aspek lainnya. Karena itulah, kita berharap banyak dengan adanya perubahan kurikulum ini. Hal-hal yang masih menjadi koreksi pada kurikulum sebelumnya, seperti miskonsepsi tentang konsep kompetensi serta target konten/materi yang overload, diharapkan dapat diperbaiki pada kurikulum Merdeka ini. Bagaimanapun, perubahan kurikulum ini saya yakini sebagai sebuah upaya perbaikan yang positif dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Bila diamati secara esensi, kurikulum Merdeka ini merupakan ‘upaya lanjutan’ yang dilakukan untuk pengembangan arah kurikulum yang sebelumnya. Kurikulum Merdeka menaruh ruang dan perhatian lebih pada tiga hal utama. Pertama, orientasi holistic dimana murid dipandang sebagai manusia yang perlu ditumbuhkan dan dikembangkan kecakapannya secara holistic mencakup kecakapan akademis dan non akademis, kompetensi kognitif, sosial, emosional dan spiritual. Kedua, berbasis kompetensi yang mengutamakan pencapaian kemampuan atau kompetensi, bukan ketuntasan konten atau materi. Ketiga, kontekstualisasi dan personalisasi dimana murid difasilitasi untuk mengkontekstualkan pembelajarannya pada potensi dan persoalan di sekitar, serta melakukan pembelajaran sesuai kondisi, kebutuhan, kesiapan, dan kemampuan siswa. Sekilas esensinya terlihat tidak jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Namun jika diselami, sesungguhnya kurikulum Merdeka mencoba mengembalikan esensi pendidikan. Pengembalian esensi itu terlihat dari fokusnya pada ‘pemberian ruang’ melalui ranah kebijakan kurikulum untuk mendorong implementasi yang lebih leluasa bagi sekolah-sekolah agar menerapkan pembelajaran yang lebih memberi kesempatan pada pengembangan peserta didik sebagai manusia utuh. Ruang-ruang yang selama ini masih sangat minim untuk membangun siklus belajar berkualitas seperti: 1. Konstruksivisme (membangun pemahaman sendiri secara aktif melalui berbagai sumber) 2. Bertanya & menyelidiki (Questioning & Investigating) memancing siswa untuk kritis pada permasalahan maupun materi yang sedang dipelajari serta mendorong siswa untuk dapat menemukan jawabannya sendiri baik melalui observasi, diskusi, kolaborasi, latihan, uji coba, dsb. 3. Merancang & mencipta untuk menjadikan siswa berkemampuan dalam memberikan ide, rancangan, maupun hasil cipta atas apa yang telah ditemukan dan dipelajarinya. 4. Berbagi & refleksi mendorong siswa untuk melakukan perenungan tentang hal-hal baik yang telah ia capai dan lakukan dalam pembelajarannya, serta hal-hal yang masih perlu ia perbaiki atau tingkatkan serta mengupayakan agar pembelajaran yang telah ia laksanakan dapat berdampak positif bagi dirinya, lingkungan, agama, maupun bangsa dan negaranya. Secara tidak langsung, pola berfikir tentang ‘makna belajar’ dari para pemangku kepentingan pada bidang pendidikan termasuk orang tua dan sekolah di dalamnya akan ikut terevisi. Saya sendiri meyakini bahwa salah satu masalah pokok pendidikan kita adalah soal persepktif makna belajar ini. Tidak sedikit sekolah yang gagal membantu anak-anak untuk mengembangkan kemampuan belajar, terutama belajar bernalar. Tidak lain dikarenakan makna belajar seringkali dikerdilkan, misalnya dengan memaknai bahwa belajar adalah kegiatan di kelas saja, kegiatan dengan pulpen dan kertas, kemampuan menjawab soal atau kemampuan mencapai target lulus ujian, terutama ujian tertulis, ditambah lagi soal ujiannya yang melulu pilihan berganda tanpa memberi ruang lebih bagi siswa untuk dapat menyuarakan ide dan pemikirannya tentang pemahamannya atas apa yang dipelajari. Padahal belajar itu bukan untuk ujian. Belajar itu untuk bekal kehidupan. Anak-anak kita belajar bukan untuk menghadapi ujian, melainkan untuk membangun kesiapan menghadapi kehidupan. Ujian hanyalah salah satu cara agar kita dapat mengetahui penguasaan kompetensi anak kita dalam menghadapi kehidupan. Sudah sampai dimanakah kemampuannya. Mana yang sudah sesuai harapan, mana yang masih perlu dikuatkan. Bukan sudah menguasai apa, tapi sudah bisa apa? Tidak sedikit guru dan orang tua yang kejar target menyampaikan sebanyak-banyaknya konten materi kurikulum. Padahal pertanyaan pentingnya adalah, anak sudah bisa apa? Apa perilaku atau kebiasaan baik baru yang sudah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Ujian adalah cara, sedangkan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik melalui ‘belajar’ adalah tujuan kita. Karena itu, ujian bukanlah satu-satunya sumber penilaian. Yang penting untuk dilakukan adalah Assesment agar bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa; belum berkembang, mulai berkembang, sudah berkembang, dst. Sehingga hasil assessment itu akan sangat berguna bagi tindak lanjut pembelajaran baik untuk guru maupun siswa itu sendiri. Saya meyakini, praktik pendidikan yang telah dilakukan oleh sekolah-sekolah terus mengalami progress prositif seperti praktik baik sekolah ramah anak yang kian terus meluas. Namun dalam upaya continuos improvement, yang perlu kita lakukan kedepannya adalah terus meningkatkan ‘implementasi pembelajaran berkualitas’ agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Upaya perbaikan kurikulum yang dilakukan oleh Pemerintah selayaknya kita sambut dengan semangat perubahan untuk menuju pendidikan yang lebih baik lagi terutama bagi sekolah, meskipun Kurikulum Merdeka ini masih belum sempurna dan masih terus disempurnakan. Peningkatan kualitas pendidikan yang kita harapkan ini hanya akan terjadi terjadi jika gerbang pertama telah kita buka, yaitu ‘membuka gerbang paradigma’. Mari rubah kerangka berpikir kita untuk merevisi makna sekolah dan makna belajar sebagai proses dan tempat menjalankan pendidikan. Karena esensi keberhasilan sebuah kurikulum bukan hanya pada konsepnya, namun juga pada bekerjanya kurikulum di nurani, pikiran, dan raga guru & orang tua, yang ditandai dengan terjadinya dan dirasakannya praktik pembelajaran dan penilaian yang berkualitas (kontekstual dan bermakna) agar dapat membangun kesiapan siswa-siswi menghadapi kehidupan sebagai manusia utuh. Saya pikir, inilah esensi dari pendidikan itu sendiri.
Cimahi, 11/04/2022 Litbang Yayasan Nurul Aulia Yenny Yudiasty S.Pd.,M.M
Referensi: https://news.detik.com/kolom/d-5975281/esensi-dan-spirit-kurikulum-merdeka https://akupintar.id/info-pintar/-/blogs/metode-contextual-teaching-and-learning-ctl-dalam-pembelajaran-di-masa-pandemi Bukik Setiawan, 2022. https://www.instagram.com/p/CW27f7OvzXf/ Banyak sekolah tapi tidak (banyak) belajar. 2020 http://www.ninoaditomo.com/