Mawar Di Tengah Padang Gurun

Mawar Di Tengah Padang Gurun

Genap sudah 11 tahun aku mengabdi sebagai guru di SD Plus Nurul Aulia, sekolah kebanggaan yang selalu mencetak generasi Qurani. Bagi sebagian guru, mungkin 11 tahun itu waktu yang cukup lama. Tapi, menurutku 11 tahun itu waktu yang sangat singkat untuk memberikan kontribusi nyata melalui proses mengajar dan belajar. 9 tahun mengabdi di Nurul Aulia aku selalu mengajar di kelas bawah, kelas 2 atau di kelas 3, terus berulang demikian selama 9 tahun tersebut dan aku menikmatinya. Menikmati canda tawa anak-anak, menikmati kepolosan anak-anak, menikmati tingkah lucu anak-anak. Dan, pada akhirnya di tahun ke 10 aku hijrah ke kelas atas atau tepatnya di kelas 5. Bukan merasa bosan, bukan mencari tiitik aman, tapi aku sendiri ingin mendapatkan tantangan baru dalam hal mengajar. Lalu, tantangan apa yang aku harapkan?

Anak tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dengan sendirinya. Namun memerlukan arahan dan bimbingan yang tepat dari lingkungan terdekatnya, agar mengerti siapa diri dan lingkungan sekitarnya. Usia anak-anak merupakan salah satu jenjang usia yang cukup sulit untuk dipahami kondisi psikologisnya, terutama bagi anak dengan usia tanggung atau menjelang remaja yaitu kelas 5 atau kelas 6 SD.

Awal masuk mengajar di kelas 5, aku berpikir akan lebih mudah mengkondisikannya dibandingkan dengan kelas bawah. Ternyata aku salah, tidak semudah yang dibayangkan dan perlu pendekatan khusus. Aku selalu melakukan praktik langsung dari materi yang diajarkan. Contonya, seperti membawa mereka belajar di Perpustakaan untuk melihat dan membaca buku, menggunakan alat peraga dan media-media lainnya. Anak pada usia ini memang harus sudah mulai dibentuk pola perilakunya, karena lingkungan sekolah juga sangat berpengaruh bagi pembentukan sikap anak. Aku juga selalu memulai kegiatan pembelajaran dengan hal yang sangat sederhana  seperti menekankan pada anak tentang “tiga kata ajaib”. Yakni “tolong”, “maaf”, dan “terima kasih”. Menurutku, hal ini akan membuat anak lebih menyadari tentang posisinya sebagai seorang makhluk sosial. Karena, akupun sadar di kelas yang aku bimbing itu mempunyai riwayat yang kurang baik terutama dalam hal sosialisasinya

Kelas 5B merupakan kelas yang aku bimbing pada tahun tersebut atau tahun pertama kalinya aku berada di kelas atas. Kelas 5B dihuni oleh 21 siswa yang diantaranya terdapat 12 siswa laki-laki dan 9 siswa perempuan. Aku bersyukur anak laki-laki di kelas 5B sangat kompak sekali, namun tidak demikian dengan anak-anak perempuannya, kadang kompak, kadang tidak sama sekali. Sedikit gesekan diantara mereka akan memicu ketidakkompakan. Di situlah tantangannya.

Kegiatan Assembly SD Plus Nurul Aulia adalah puncak dimana aku harus membuat anak-anakku terlihat kompak dan rukun satu sama lain. Karena kegiatan ini, akan disaksikan banyak pasang mata, baik dari guru maupun orang tua siswa. 2 bulan sebelum hari puncak itu dilaksanakan, aku sudah mempersiapkannya dengan memberikan projek kepada anak-anak. Anak diberikan kesempatan untuk memberikan pendapatnya, keinginannya dan bakatnya dalam sebuah musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama. Dan, akhirnya dipilihlah drama teatrikal sebagai tampilan kelas 5B. Aku sendiri membuat naskah cerita drama tersebut yang di mana di dalamnya terdapat penyesuaian karakter anak. Ada anak yang pendiam, ada anak yang aktif, ada anak yang suka menari, menyanyi, dan ada pula anak yang menyukai lagu-lagu modern. Tantangan datang lagi ketika tema yang diusung adalah kesenian tradisional daerah. Disitulah aku mulai berpikir, bagaimana menggabungkan semua karakter dan kesukaan juga modernisasi digabungkan dengan tradisional mejadi satu kesatuan?

Naskah cerita sudah dibuat, pengambilan suara dan pemilihan lagu pun sudah dimuat. Dalam alur cerita tersebut, aku memilih daerah Jawa Tengah sebagai kesenian yang akan ditampilkan. Karakter “Buto Gedruk” merupakan sosok karakter khas dari Jawa Tengah. Untuk tarian, aku memilih gerakan tarian Jawa yang diiringi oleh musik tradisional modern. Kini tibalah saatnya untuk berlatih peran. Tidak mudah juga dalam menentukan peran yang akan dilakukan anak-anak. Sebelumnya mereka harus menunjukkan bakat aktingnya terlebih dahulu. Agar peran yang dimainkan oleh anak lebih mendalam dan sesuai.

Untuk melatih peran anak laki-laki itu jauh lebih mudah dibandingkan perempuan. Saat ada adegan berkelahi, aku meminta anak yang memang berbakat dalam seni berkelahi atau bertarung. Dia adalah siswa yang mengikuti Club Taekwondo, aku memerintahkan dia untuk mencari gerakan berkelahi dengan baik namun tetap aman. Peran perempuan lebih sulit, dikarenakan ada gerakan tariannya. Gerakan tarian dalam drama tersebut memang hanya satu setengah menit, namun penyesuaian gerakan dengan lagu itu adalah hal yang sulit, apalagi aku sendiri tidak pandai menari. Ditambah lagi, hampir semua anak perempuan tidak bisa menari tradisional. Ada satu anak perempuan bernama Naurah, dia sebenarnya pandai namun banyak teman-temannya yang menjauhinya dikarenakan sifat sombongnya, terlebih orang tuanya yang selalu ikut campur dalam masalah anak-anak. Bahkan, orang tuanya pun pernah berkata bahwa tarian itu adalah “haram”, Islam tidak mengajarkannya. Tapi aku tetap teguh untuk menampilkan tarian dalam alur drama tersebut. Aku ingin menunjukkan bahwa anaknya tersebut sangat berbakat dalam tarian.

Singkat cerita, aku meminta Naurah untuk memimpin dan mencari gerakan tarian tradisional, dan dia mempraktikannya. Namun, gerakannya cukup sulit dan tidak mudah diikuti oleh teman yang lain. Aku meminta gerakannya untuk diubah kembali jadi lebih sederhana. Aku berkata pada Naurah, “Nau, kamu memang pandai menari, gerakannya memang sangat bagus sekali, namun teman-temanmu kesulitan untuk menirunya, jadi tolong ajarkan mereka gerakan yang sederhana namun tetap terlihat bagus”. Anak-anak perempuan lain yang tadinya tidak suka dengan Naurah, dengan berbesar hati mau mengikuti gerakannya. Naurah mengajarkan temannya satu persatu sampai benar-benar bisa. Sama halnya dengan Naurah, aku meminta anak lainnya yaitu Dhofwa dan Anin untuk mencari gerakan tarian modern. Mereka berhasil membuat gerakan yang sangat bagus. Dan pada akhirnya semua anak perempuan saling mengajarkan, saling bertukar ilmu dalam hal tarian. Tidak terlihat lagi muka masam diantara mereka, yang ada hanyalah tawa canda dan senda gurau.

Setelah sekian lama berlatih peran dan menari dalam sebuah drama, mereka belum sadar dengan apa yang akan mereka tampilkan. Karena latihannya dilakukan secara terpisah, ada yang berlatih peran, ada yang berlatih menari, berkelahi dan lain-lainnya dilakukan masing-masing. Bahkan ada anak yang bertanya, “kita tuh mau nampilin apaan sih Pak?”. Ketika latihan gabungan, betapa terharunya aku melihat mereka yang sangat kompak sekali. Dari awal sampai akhir mereka sangat mendalami perannya masing-masing. Anak-anak pun sangat gembira setelah tahu dengan apa yang akan mereka tampilkan.

Tibalah di acara puncak Assembly, anak-anak begitu semangat tanpa ada rasa cemas. Orang tua pun turut antusias dan saling membantu. Ada yang merias anak-anak, ada yang membantu mengganti pakaian anak-anak, bahkan ada pula yang menyediakan makanan untuk kita semua. Namun, ada sedikit kecemasan dalam diriku, saat tahu bahwa Kelas 5B akan tampil setelah shalat dhuhur. Aku khawatir hanya orang tua kelas 5B saja yang menyaksikannya. Ternyata kecemasanku hanyut ketika melihat penonton sangatlah banyak, bahkan bukan hanya orang tua Kelas 5B saja, tapi ada juga orang tua dari kelas lainnya dengan anak-anaknya ikut menyaksikan penampilan Kelas 5B. Mereka rela menunggu dari pagi sampai siang hanya untuk melihat penampilan kami. Sorak-sorai kerumunan seperti gelombang energi positif di atas panggung. Semua penonton sangat antusias sekali, teriakannya bagaikan auman singa yang seakan-akan berkata “inilah panggungmu, inilah kemenanganmu”.

Setelah kegiatan Assembly selesai, tak henti-hentinya Kelas 5B menjadi buah bibir di sekolah. Semua anak senang, bahagia dan tentunya tetap menjalin kebersamaan. Sangking kompaknya, seluruh orang tua Kelas 5B berduyun-duyun datang menghadap agar nanti di kelas 6 tidak dipisahkan. Mereka mau anak-anaknya tetap satu kelas. Aku bingung tak tau harus berkata apa, karna aku sebagai Waka Kurikulum tidak melihat kondisi hanya satu kelas saja, tapi semuanya. Maka dari itu, aku meminta bantuan Pak Farid selaku Kepala Sekolah agar dapat memberikan pemahaman kepada orang tua tersebut. 

Aku merasa bangga akan capaianku di kelas 5 ini, pada awal masuk di Kelas 5B betapa kagetnya aku melihat kondisi anak-anak yang seakan-akan terpecah-belah, mereka belajar dan bermain masing-masing tanpa ada rasa empati. Berada di kelas pun rasanya seperti di padang gurun tak berpenghuni. Aku bagaikan mawar di padang gurun, yang selalu memberikan keindahan di ketidakbiasaan situasi. Anak-anak memang unik, berbeda karakter. Namun, aku berhasil menggabungkan perbedaan itu menjadi satu kesatuan. Orang tua telah memberikan anak-anak kehidupan, dan kita sebagai guru, harus mengajari anak-anak cara menjalaninya.

Ahmad Syamsudin S.Pd. ( Juara 1 menulis artikel MIlad Yayasan Ke 21 tahun 2023 )